I stir the pot, fix the holes, and observe the reality as it is. Propagandist for hire.

Pernyataan

Added on by Ridzki.

Saya rasa ada yang terlewat di fotografi Indonesia baru-baru ini, bukan saya bukan bicara tentang AFI dan para pemenangnya. Walaupun saya harus berkata selamat atas terjadinya AFI dan para pemenangnya, mudah-mudahan di tahun depan kita bisa melihat pemenang-pemenang lain dari luar Jakarta dan bukan nama-nama yang sama lagi yang menjadi nominasi. Saya bicara tentang pameran Dinda Jou Ismail yang berjudul mail-a love letter di Galeri Foto Jurnalistik Antara, pameran dan buku yang seluruh fotonya diambil dari hasil jepretan Instagram si fotografer. Ketika Aik Beng Chia mobile photographer dari Singapura mengeluarkan bukunya Tonight The Streets Are Ours yang diterbitkan oleh Invisible Ph t grapher Asia, saya berkata bahwa ini adalah sebuah statement penting yang dikeluarkan oleh IPA, seolah-olah mereka berkata bahwa kamera itu tidak penting yang penting adalah konten dan isi dari sebuah buku tersebut.

Dalam essay saya yang dimuat di Whiteboard Journal saya menyatakan bahwa kamera tak lagi berbentuk seperti halnya kamera klasik, sebuah ponsel adalah kamera bahkan kacamata pun adalah sebuah kamera pada jaman sekarang. Namun dalam forum yang membahas project seorang kawan yang menggunakan kamera ponsel juga, ada pertanyaan yang muncul dari para fotografer senior "jika kamu punya kamera yang bagus kenapa kamu motret menggunakan ponsel? apa alasannya?" Tentu jika kita menjawab hal ini adalah tantangan buat saya atau bagi saya ini juga kamera, itu kurang dapat memuaskan level intelektualitas dan terkesan kita tidak mengetahui secara dalam tentang diri kita sendiri, namun kita tidak sedang membahas itu sekarang. Yang saya garis bawahi adalah bagaimana para fotografer senior ini menyikapi penggunaan kamera ponsel.

Saya yakin Dinda memiliki kamera yang disebut bagus itu dan saya yakin dia juga mampu mengambil gambar-gambar yang sama dengan yang dia ambil dengan kamera ponselnya. Maka dari itu saya merasakan apa yang dilakukan Galeri Antara jauh melampaui apa yang dilakukan IPA, karena adanya sejarah institusi yang lebih panjang dan orang-orang yang terlibat di dalamnya seperti Oscar Motuloh (yang kebetulan menjadi editor buku tersebut) adalah orang-orang yang satu generasi dengan para fotografer senior tersebut. Terlepas dari fakta bahwa dulu instalasi pameran Yudhi Soerjoatmodjo jauh lebih kontemporer, namun itu tetaplah karya fotografi yang tidak diperdebatkan lagi, kali ini Antara telah melampaui itu dan membuat statement yang sangat keras, bahwa karya fotografi dengan ponsel adalah karya fotografi yang mampu bersanding dengan karya yang pernah ditaruh di dinding-dinding Galeri Antara.

Maka dengan itu perdebatan telah selesai dan mari kita melangkah kembali.